Isu pemanasan global saat ini bukan sekedar isu, tetapi memang nyata dan dapat kita lihat serta rasakan dari fenomena yang ada seperti perubahan iklim. Selain itu, kenaikan permukaan air laut, penurunan hasil panen pertanian dan perikanan, serta perubahan keanekaragaman hayati. Ketika cahaya matahari mengenai atmosfer serta permukaan bumi, sekitar 70% dari energi tersebut tetap tinggal di bumi, diserap oleh tanah, lautan, tumbuhan serta benda-benda lainnya. 30 % sisanya dipantulkan kembali melalui awan, hujan serta permukaan reflektif lainnya. Tetapi panas yang 70% tersebut tidak selamanya ada di bumi, karena bila demikian maka suatu saat bumi kita akan menjadi “bola api”.
Fenomena terjadinya pemanasan global adalah akibat semakin meningkatnya gas buang penyebab efek rumah kaca (green house effect) yang terjadi di atmosfer pada lapisan troposfer. Gas buang ini antara lain uap air, CO2, CO, CH4, N2O dan gas-gas lainnya yang mengabsorpsi radiasi infra merah, sehingga meningkatkan temperatur rata-rata di permukaan bumi. Kegiatan manusia merupakan penyebab utama peningkatan gas rumah kaca yang ada sekarang. Sumber-sumber GRK sangat beragam, tetapi yang terutama adalah CO2, CH4 dan Chloro Fuoro Carbon (CFC) (Suratama, 2001).
Manfaat atmosfer secara langsung terhadap permukaan bumi, antara lain :
· untuk mengatur dan menyaring sinar matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi sehingga suhu di permukaan bumi tidak berubah dengan ekstrim
· sebagai medium bagi penjalaran gelombang bunyi
· mengatur sirkulasi udara
· sebagai penahan radiasi matahari
· sebagai tempat tersedianya gas oksigen bagi pernafasan dan pembakaran
Atmosfer tidak hanya memberikan manfaat seperti yang telah disebutkan di atas, akan tetapi atmosfer juga memberikan beberapa dampak negatif. Fenomena yang berkembang belakangan ini adalah efek rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Kondisi ini pada akhirnya akan berakibat buruk terhadap permukaan bumi, termasuk bagi dunia perikanan, antara lain :
a. Menurunnya Produksi Ikan
Menurut Suratama (2001) khusus di Bali, dampak pemanasan global sudah mulai tampak dengan naiknya permukaan air laut, turunnya produksi ikan di Benoa dan Pengambengan serta turunnya kualitas dan persediaan air tanah. Abrasi di pantai Kuta misalnya, sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan, belum lagi intrusi air laut ke sumur-sumur penduduk.
b. Rusaknya Ekosistem Karang
Rahayu (2009) menyatakan bahwa lautan menyerap CO2 dari atmosfer sekitar 2.2 giga ton per tahun atau 30% dari total CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia (JGOFS, 2000). CO2 yang masuk kedalam laut berbentuk asam karbonat (carbonic acid) yang akan membuat laut semakin asam. Hal ini akan membuat pH air laut turun dan juga menurunkan konsentrasi ion karbonat.
Berkurangnya ion karbonat akan menurunkan kemampuan karang untuk membangun kerangka dan struktur kerang tulang punggung gugusan koral. Perubahan suhu laut yang mendadak dapat berdampak negatif, yaitu menurunnya kualitas hingga kerusakan ekosistem laut dan pesisir seperti pemutihan (bleaching) terumbu karang dan kematian budidaya pesisir. Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang adalah 25°C-29°C. Peningkatan suhu permukaan laut antara 1°C hingga 2°C biasanya akan diikuti oleh bleaching pada koloni yang tidak tahan terhadap perubahan lingkungan. Pada waktu El Nino kuat yang terjadi pada tahun 1997-1998, coral bleaching terjadi di beberapa wilayah perairan pesisir seperti Sumatera Barat, Sumatera bagian timur, Kepulauan Seribu, Bali, Karimunjawa, Gili Lombok, dan Kalimantan Timur (Hendiarti, 2009). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertukaran gas CO2 antara laut dan atmosfer dikarenakan perubahan suhu air laut (menghangat) akan berdampak pada penambahan gas CO2 di atmosfer.
Para ilmuwan dari Universitas Plymouth di Inggris melakukan evaluasi dampak karbon dioksida yang diserap laut melalui sebuah studi di lubang CO2 alamiah yang ditemukan di Laut Mediterania. Studi tersebut menunjukkan bahwa di dekat lubang dasar laut ini, CO2 membuat air menjadi lebih asam dan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman laut dalam perbandingan yang sama dengan pengasaman. Karena berkurangnya kalsium di air yang asam, kerangka keong menjadi hancur dan terumbu karang tidak dapat terbentuk. Dr. Carol Turley dari Laboratorium Laut Plymouth mengatakan, “Ini berarti satu-satunya cara untuk mengurangi pengasaman laut adalah dengan pengurangan emisi CO2 dalam jumlah yang besar."
c. Ikan-Ikan Hiu Terancam Punah
Studi baru-baru ini yang dimuat dalam jurnal Pelestarian Biologi menyatakan bahwa populasi dari banyak spesies ikan hiu yang berkurang dengan cepat membuat para ilmuwan prihatin tentang dampaknya terhadap ekosistem laut secara keseluruhan. Kelompok-kelompok pelestarian menyerukan agar dilakukan langkah-langkah global untuk melindungi ikan hiu itu, bahkan beberapa jenis hampir lenyap sama sekali.
d. Spesies Anjing Laut Punah
Setelah tidak terlihat selama lebih dari 50 tahun, anjing laut di Karibia atau India Barat sekarang dinyatakan punah. Anjing laut subtropis yang pernah ditemukan secara berlimpah di Laut Karibia, Teluk Meksiko, dan sebelah barat Samudera Atlantik, pada dasarnya diburu sampai punah. Dua spesies berhubungan lainnya, anjing laut Mediteranian dan Hawai baru-baru ini terdaftar sebagai satwa yang terancam punah, dengan perlindungan intensif yang diperlukan untuk menghindari kepunahan.
e. Laut Tidak Asin Lagi
Sejak akhir tahun 1960-an, sebagian besar air Samudra Atlantik Utara menjadi kurang asin (Mahale, 2009). Penyebabnya adalah peningkatan jumlah air tawar yang masuk ke laut akibat pemanasan global. Kini untuk pertama kalinya para peneliti mengukur aliran air tawar yang masuk, memungkinkan mereka untuk memperkirakan efek jangka panjang terhadap lautan dunia. Perubahan iklim di belahan bumi utara telah melelehkan gletser dan membawa lebih banyak hujan dan menyebabkan lebih banyak air tawar mengalir ke laut. Akibat langsungnya adalah kenaikan permukaan air laut dan tenggelamnya wilayah pesisir. Bila banyaknya air tawar yang masuk ke laut mengubah aliran ini baik musiman maupun jangka panjang maka ia akan mempengaruhi banyak hal, mulai terbentuknya badai hingga banjir dan udara panas maupun dampak ekologi terhadap kehidupan organisme di laut. Pengaruh lainnya adalah dengan mencairnya es di kutub, maka akan meningkatkan permukaan air laut Mahale (2009).
Kenaikan suhu permukaan ini juga menyebabkan mencairnya permukaan es di dunia yang keseluruhannya seluas 23 juta km2 maka air laut akan naik 1,7 % atau sekitar 180 ft, yang bisa menenggelamkan 20 tingkat gedung Empire State di New York (Hendrickson, 1984).
f. Pengaruh Terhadap Organisme Laut
Hasil penelitian Global Coral Reef Monitoring Network menunjukkan, lebih dari dua pertiga terumbu karang di seluruh dunia telah rusak, bahkan terancam punah (Arvian, 2006). Ancaman ini tak lain karena adanya pemanasan global yang tengah terjadi. Laporan yang dipublikasikan awal minggu ini menyebutkan, berbagai ancaman dapat berisiko bagi kelangsungan terumbu karang, semisal polusi, pencemaran, penangkapan ikan berlebihan, kenaikan temperatur, dan penggunaan sianida dan bom untuk menangkap ikan. Pasalnya, kenaikan temperatur secara mendadak meski kecil menyebabkan terumbu karang "memutih" karena terlepasnya ganggang dari jaringan terumbu (Arvian, 2006). Laporan Global Coral Reef Monitoring Network juga menyebutkan kepunahan terumbu karang menyebabkan hilangnya daerah pesisir, dan membuka peluang terjadinya pengikisan yang disebabkan gelombang laut.
Meningkatnya temperatur, kenaikan jumlah CO2 yang dirasakan air laut membuat jumlah karang yang dapat mengeras karena kapur atau tengah membentuk terumbu menurun. Sebab itu, para peneliti yang tergabung dalam Global Coral Reef Monitoring Network mengusulkan pengurangan emisi gas CO2 dan efek rumah kaca lainnya untuk menyelamatkan terumbu (Arvian, 2006). Kerusakan terumbu karang secaa tidak langsung mengancam kehidupan organisme lain yang menghuni terumbu karang. Selain itu terumbu karang juga dikenal sebagai tempat mencari makan dan memijah bagi sebagian besar organisme. Kerusakan terumbu karang bisa berdampak punahnya sebagian besar organisme. Salah satu keuntungan pemanasan global yaitu pada Caulerpa taxiola yang merupakan tumbuhan lunak berwarna hijau cerah berukuran kecil, hidup di wilayah perairan pasifik tropis yang mati apabila suhu turun di bawah 700 F (Ehrlich, 2000).
Untuk itu kita sebagai manusia yang memiliki kemampuan dalam berfikir harus menjaga ekosistem lingkungan. Menjaga ekosistem tersebut dapat dilakukan dengan menanam tanaman (penghijauan) baik di pantai maupun di daratan, mencegah penggundulan hutan dan lain-lain. Selain itu, kita tidak boleh merusak ekosistem yang sudah ada seperti cagar alam, hutan lindung, konservasi sumber daya alam dan hewan dan sebagainya supaya lingkungan tetap seimbang. Mari bersama-sama menyelamatkan bumi kita dari global warming untuk kemaslahatan umat di dunia.